Gap year: Saatnya Berdamai dengan Kenyataan Kemudian Bangkit dan Kembali Berjuang

Indah Yunita
5 min readFeb 1, 2021

--

Ah, yang benar saja. Ketakutannya selama ini benar-benar terjadi. Salah satu kemungkinan yang dulu pernah terlintas di kepalanya kini menjadi keniscayaan. Ia benar-benar tak diterima di kampus manapun. Sedih? Bohong rasanya kalau ia sampai mengatakan tidak. Lalu bagaimana sekarang? “Apa aku terlalu bodoh?”, pikirnya.

Lolos seleksi masuk PTN, kemudian kuliah di prodi dan kampus impian adalah keinginan sebagian besar siswa SMA tingkat akhir. Namun, bagaimana jika kenyataan mengatakan sebaliknya? Nilai-nilai rapot dan prestasi yang selama ini diperjuangkan ternyata tak cukup untuk menjadi tiket masuk SNMPTN. Oke masih ada SBMPTN, mari move on.

Setelah menginputkan nomor pendaftaran dan tanggal lahir pada website pengumuman SBMPTN debaran jantung itu terasa begitu cepat, tak kalah cepatnya dengan hasil yang terpampang di layar. Warnanya hijau, akan tetapi tertulis kata “gagal” dan “semangat”. Mungkin designer web nya tidak ingin menambah beban calon mahasiswa yang gagal SBMPTN, sehingga walaupun gagal tetap diberikan warna hijau pada laman pengumumannya, bukan lagi merah.

Mimpi itu seakan hancur begitu saja, pil pahit kegagalan berulang kali ditelan. Hingga akhirnya kini gap year menjadi satu-satunya pilihan, menunggu seleksi pada tahun depan sambil menyembuhkan mental setelah berulang kali terpental.

Tak mudah memang menata ulang rencana dan strategi untuk seleksi pada tahun berikutnya ketika disaat yang bersamaan teman-teman seperjuangan telah memasang twibbon pada sosial medianya masing-masing, mempersiapkan barang-barang ospek mereka, atau membahas lika-liku ospek mereka di grub kelas dan kamu hanya menjadi pembaca.

Namun, mau tak mau kita memang harus menerima. Oke, wajar jika kita sedih. Wajar jika kita menangis. Kita juga manusia yang memiliki perasaan. Tetapi kita tak bisa terus denial atas kegagalan kita. Gapapa sekarang gagal, tetapi besok harus semangat lagi, harus berusaha lagi.

Gap year bukanlah sesuatu yang buruk. Bukan juga aib. Fyi, beberapa Universitas terbaik di dunia justru menyarankan calon mahasiswanya untuk gap year terlebih dahulu sebelum masuk ke dunia perkuliahan. Contohnya saja Harvard University. Sayangnya di Indonesia terkadang gap year justru menjadi stigma yang buruk. Terkadang juga ada guru yang terkesan menyayangkan siswanya untuk gap year alih-alih memberi semangat dan motivasi.

Banyak kok yang dapat kita lakukan pada masa-masa gap year. Jadi gap year bukan berarti setahun ngga ngapa-ngapain yaa. Aku sendiri juga termasuk salah satu tim gap year yang dulu pernah ditolak PTN impian. Pada saat gap year, aku gunakan waktuku untuk mematangkan lagi pilihan jurusanku apakah masih tetap ingin berjuang untuk jurusan yang sama ataukah mau mencoba memperjuangkan jurusan yang lain saja. Akhirnya pada saat itu aku memutuskan untuk memperjuangkan keduanya, jadi aku tetap fokus untuk memperjuangkan jurusan impianku sambil mencari informasi juga tentang jurusan opsi kedua yang mau aku pilih.

Jurusan impianku adalah kedokteran kemudian opsi keduanya adalah Teknik Informatika. Mengapa tiba-tiba kepikiran untuk kuliah di jurusan Teknik Informatika? Pertama, jujur saja dari semua jurusan yang ada di dunia, jurusan yang membuat aku bener-bener tertarik hanyalah Kedokteran dan Teknik Informatika karena dulu aku suka sekali dengan sesuatu yang berbau teknologi. Semasa SMP, ketika pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) aku juga pernah diajarkan Algoritma Pemrograman (1 bab saja) menggunakan bahasa pascal dan softwarenya menggunakan Lazarus. Waktu itu aku senang sekali dengan pelajarannya dan otakku masih nyambung banget karena yang diajarkan hanya seputar perhitungan biasa dan mencari luas bangun datar, bukan menghitung perkalian matrix hehe.

Kedua, dulu ketika pertama kali melihat status WA seorang kakak kelas yang telah kuliah di jurusan informatika, aku menjadi penasaran. Status itu berisi foto monitor penuh dengan warna-warni syntax code . Bukan penasaran dengan codenya melainkan penasaran dengan 2 bungkus paramex yang diletakkan di dekat laptopnya, “Apakah ngoding sampe bisa bikin sepusing itu?” Selain itu aku juga penasaran dengan istilah-istilah tentang linux dan PHP. Setelah aku cari tau sendiri lebih detail tentang istilah-istilah dunia perkodingan, akhirnya aku malah semakin tertarik dan penasaran. Aku juga sempat tanya-tanya ke teman sekelasku waktu SMA yang saat itu sudah kuliah di jurusan Teknik Informatika tentang bagaimana rasanya kuliah di jurusan tersebut untuk mendapatkan informasi yang lebih detail.

Ketiga, pertimbangan terakhirku memilih jurusan Teknik Informatika sebagai opsi kedua adalah karena prospek kerjanya bagus, hehe. Banyak sekali lowongan-lowongan kerja pada bidang IT saat itu, bahkan data formasi tes CPNS 2018 menunjukkan bahwa setiap kementrian di Indonesia pasti membutuhkan Pranata Komputer tingkat I (Junior Programmer). Waktu itu aku juga melihat Go-Jek dan Ruang Guru yang progressnya melesat (dulu aku mikirnya kalau pegawai di Go-Jek dan Ruang Guru kebanyakan programmer).

Selain mematangkan pilihan jurusan, aku juga mulai mempersiapkan jadwal belajar SBMPTN, aku belajar sendiri di rumah menggunakan salah satu aplikasi bimbel online (sebut saja ze****). Kemudian, aku juga mengikuti tryout-tryout baik secara offline maupun online.

Jujur saat itu sering sekali merasa jenuh belajar, apalagi rasanya beda dengan saat sekolah yang ada teman untuk berkompetisi (maksudnya ada indikator pacuannya gitu, bukan berkompetisi secara tidak sehat). Sehingga saat gap year aku tak hanya full belajar saja melainkan juga nulis blog. Saat itu aku mencoba berbagai macam platform blog mulai dari wordpress (sekarang sudah kuhapus), tumblr, dan medium. Aku juga mulai menata feed instagramku. Jadi saat gap year bukan berarti setahun ngga ngapa-ngapain. Saat gap year ini justru bagus dimanfaatkan untuk explore berbagai hal.

Akhirnya pada percobaan SBMPTN tahun kedua aku lolos. Namun, bukan pada jurusan impianku melainkan pada jurusan Teknik Informatika. Awalnya pasti merasa kecewa, tetapi apa boleh buat? Allah lebih tau daripada kita.

Setelah dijalani ternyata fine-fine aja. Semester pertama aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman-teman baru, dan belajar hal baru. Capek? jujur iya sih. Capeknya karena pada saat semester pertama ini banyak event yang bikin bolak-balik jalan kaki ke kampus, terus sering ke lab juga buat ngerjain tugas-tugasnya karena belom ada laptop. Ngodingnya memang lumayan susah sih, tapi semester 1 aku merasa masih bisa survive dan walaupun susah tapi nggak bikin aku mutung soalnya kalau diinget-inget lagi tuh aku suka sih sama matkul-matkulnya. Beda sama akuntansi zaman SMA, jujur materi akuntansi saat SMA nggak sesusah ngoding tapi aku males banget belajarnya soalnya bener-bener ga ada minat.

Mulai semester 2 ada titik dimana rasa capek itu bener-bener berada pada puncaknya. Tepatnya saat awal pandemi, soalnya kampus ditutup, lab ditutup, dan kuliah dilaksanakan secara online. Hal yang bikin stress banget adalah tugas tetep jalan tetapi aku gabisa ngerjakan di lab. Akhirnya ngoding pake hape, bikin laporan juga pake aplikasi di hape. Masih kebayang gimana pegelnya nulis kode di hape apalagi waktu itu kodenya udah banyak (pake import modul) dan yang bikin stress pas ngatur indentasinya.

Namun, justru disaat capek itulah aku jadi bersyukur karena pernah gap year. Kenapa gitu? karena ketika aku inget gimana susah sedihnya gap year, aku jadi semangat lagi dan enggan buat nyerah gitu aja. Masa’ udah dapetin bangku ini capek-capek sekarang mau ditinggal gitu aja. Sampe sekarang aku bener-bener bersyukur pernah gap year karena hal itu yang bikin semangatku bangkit lagi ketika udah merasa lelah. Ternyata Allah itu memberikan suatu ujian ke kita bukan tanpa alasan, justru karena Allah tau itu yang terbaik untuk kita akhirnya kita diuji dengan hal tersebut. Sesuatu yang dulu kita tangisi bisa jadi suatu saat akan menjadi hal yang paling kita syukuri.

Jadi, buat kalian yang saat ini sedang gap year tetap semangat yaa.. jangan pernah menyerah dengan impian kalian selama impian itu baik. Kalau orang-orang diluar sana bicara buruk tentang kalian, jangan terlalu diambil hati. Karena mereka nggak tahu gimana perjuangan kamu yang sesungguhnya, mereka hanya berkomentar saja.

Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, impian kita tak berakhir begitu saja hanya karena kegagalan. Kegagalan adalah bagian dari proses pengembangan diri. Kita akan berkembang lebih baik jika mampu memaknai kegagalan dan belajar memperbaiki kesalahan penyebab kita gagal. Kegagalan pada saat seleksi masuk perguruan tinggi adalah tantangan awal yang mendidik kita untuk selalu siap menghadapi tantangan berikutnya pada dunia perkuliahan maupun dunia kerja.

Senin, 1 Februari 2021

23.48 WIB

--

--